Minggu, 10 Juni 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”.
Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak.
Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini.
Meulaboh,8 Mei 2012
Penulis
KHAIRUNNAS
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2
2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2
2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5
2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7
2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12
3.2 Saran…………………………………………………………………………….12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13
ii
BAB I
EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA
DI INDONESIA
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan
panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,
baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan
dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat
maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah
transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam
Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal
dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti
oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih
besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang
unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,
habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota
perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain
: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem
mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir.
Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan
mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala
diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi
oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,
1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah
“mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu
tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau
atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis
spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan
mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang,
kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967
dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi
spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk
lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
2
a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan.
Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil
oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel
(misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
• Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
• Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan
garam.
• Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Adaptasi mangrove terhadap lingkungan
3
b. Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh
berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Contoh zonasi hutan mangrove
4
2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan
ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem
tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat
keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan
organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke
ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai
penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu
kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan
(spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu
karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan
mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,
2001).
Hubungan ekosistem mangrove
5
b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove
bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan
mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
serangga,
• sebagai pengatur iklim mikro.
Sebagai penahan abrasi air laut
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan
makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
pewarna),
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan
6
2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM
MANGROVE
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak
terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1).
Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan
luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di
Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan
makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung
cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali
(1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran
antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
7
Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
Tebang habis
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
Pembuangan
sampah padat
• • Pencemaran
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi
mineral.
• • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan
digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan
hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery
ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda
yang penting secara ekonomi.
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi
dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih
asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak
dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif
terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat
hara melalui aliran air tawar berkurang
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas
pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery
ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan
mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang
sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan
keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang
bermuara di laut.
• • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat
terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang
terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang
antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3)
yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang
akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
• • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora
oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang
dapat mengakibatkan :
− − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan
bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting
di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan
udang tersebut.
• • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :
− − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya
dapat mematikan pohon mangrove.
. Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
9
2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu
tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum,
serta strategi dan pelaksanaan rencana.
Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali
a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove.
Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari.
Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama
masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove.
Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan
sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove
10
b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten
dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.
Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat
hukum tersebut.
c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi
dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar
dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan
dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan
menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan
sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan
fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna
Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
• Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
• Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan
hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status
hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya
perikanan, pertanian, dan sebagainya.
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan
mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola
partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan,
institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,
mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas
yang bernilai ekologis dan ekonomis.
• Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka
diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan
konservasi.
• Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan
mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
• Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001).
• Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
• Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000).
Saran
• Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti
• Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini
• Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih
12
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove
Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
13
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”.
Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak.
Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini.
Meulaboh,8 Mei 2012
Penulis
KHAIRUNNAS
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2
2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2
2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5
2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7
2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12
3.2 Saran…………………………………………………………………………….12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13
ii
BAB I
EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA
DI INDONESIA
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan
panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,
baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan
dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat
maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah
transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam
Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal
dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti
oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih
besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang
unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,
habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota
perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain
: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem
mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir.
Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan
mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala
diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi
oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,
1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah
“mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu
tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau
atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis
spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan
mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang,
kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967
dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi
spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk
lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
2
a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan.
Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil
oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel
(misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
• Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
• Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan
garam.
• Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Adaptasi mangrove terhadap lingkungan
3
b. Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh
berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Contoh zonasi hutan mangrove
4
2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan
ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem
tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat
keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan
organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke
ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai
penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu
kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan
(spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu
karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan
mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,
2001).
Hubungan ekosistem mangrove
5
b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove
bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan
mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
serangga,
• sebagai pengatur iklim mikro.
Sebagai penahan abrasi air laut
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan
makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
pewarna),
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan
6
2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM
MANGROVE
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak
terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1).
Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan
luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di
Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan
makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung
cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali
(1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran
antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
7
Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
Tebang habis
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
Pembuangan
sampah padat
• • Pencemaran
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi
mineral.
• • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan
digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan
hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery
ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda
yang penting secara ekonomi.
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi
dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih
asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak
dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif
terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat
hara melalui aliran air tawar berkurang
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas
pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery
ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan
mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang
sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan
keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang
bermuara di laut.
• • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat
terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang
terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang
antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3)
yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang
akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
• • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora
oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang
dapat mengakibatkan :
− − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan
bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting
di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan
udang tersebut.
• • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :
− − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya
dapat mematikan pohon mangrove.
. Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
9
2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu
tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum,
serta strategi dan pelaksanaan rencana.
Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali
a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove.
Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari.
Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama
masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove.
Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan
sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove
10
b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten
dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.
Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat
hukum tersebut.
c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi
dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar
dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan
dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan
menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan
sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan
fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna
Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
• Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
• Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan
hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status
hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya
perikanan, pertanian, dan sebagainya.
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan
mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola
partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan,
institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,
mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas
yang bernilai ekologis dan ekonomis.
• Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka
diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan
konservasi.
• Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan
mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
• Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001).
• Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
• Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000).
Saran
• Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti
• Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini
• Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih
12
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove
Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
13
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”.
Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak.
Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini.
Meulaboh,8 Mei 2012
Penulis
KHAIRUNNAS
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2
2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2
2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5
2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7
2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12
3.2 Saran…………………………………………………………………………….12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13
ii
BAB I
EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA
DI INDONESIA
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan
panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,
baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan
dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat
maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah
transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam
Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal
dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti
oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih
besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang
unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,
habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota
perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain
: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem
mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir.
Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan
mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala
diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi
oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,
1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah
“mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu
tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau
atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis
spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan
mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang,
kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967
dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi
spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk
lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
2
a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan.
Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil
oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel
(misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
• Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
• Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan
garam.
• Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Adaptasi mangrove terhadap lingkungan
3
b. Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh
berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Contoh zonasi hutan mangrove
4
2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan
ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem
tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat
keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan
organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke
ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai
penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu
kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan
(spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu
karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan
mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,
2001).
Hubungan ekosistem mangrove
5
b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove
bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan
mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
serangga,
• sebagai pengatur iklim mikro.
Sebagai penahan abrasi air laut
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan
makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
pewarna),
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan
6
2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM
MANGROVE
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak
terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1).
Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan
luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di
Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan
makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung
cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali
(1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran
antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
7
Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
Tebang habis
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
Pembuangan
sampah padat
• • Pencemaran
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi
mineral.
• • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan
digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan
hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery
ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda
yang penting secara ekonomi.
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi
dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih
asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak
dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif
terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat
hara melalui aliran air tawar berkurang
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas
pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery
ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan
mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang
sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan
keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang
bermuara di laut.
• • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat
terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang
terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang
antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3)
yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang
akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
• • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora
oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang
dapat mengakibatkan :
− − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan
bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting
di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan
udang tersebut.
• • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :
− − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya
dapat mematikan pohon mangrove.
. Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
9
2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu
tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum,
serta strategi dan pelaksanaan rencana.
Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali
a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove.
Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari.
Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama
masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove.
Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan
sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove
10
b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten
dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.
Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat
hukum tersebut.
c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi
dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar
dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan
dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan
menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan
sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan
fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna
Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
• Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
• Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan
hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status
hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya
perikanan, pertanian, dan sebagainya.
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan
mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola
partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan,
institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,
mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas
yang bernilai ekologis dan ekonomis.
• Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka
diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan
konservasi.
• Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan
mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
• Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001).
• Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
• Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000).
Saran
• Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti
• Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini
• Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih
12
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove
Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
13
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”.
Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak.
Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini.
Meulaboh,8 Mei 2012
Penulis
KHAIRUNNAS
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2
2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2
2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5
2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7
2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12
3.2 Saran…………………………………………………………………………….12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13
ii
BAB I
EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA
DI INDONESIA
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan
panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,
baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan
dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat
maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah
transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam
Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal
dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti
oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih
besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang
unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,
habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota
perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain
: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem
mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir.
Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan
mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala
diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi
oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,
1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah
“mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu
tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau
atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis
spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan
mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang,
kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967
dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi
spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk
lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
2
a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan.
Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil
oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel
(misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
• Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
• Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan
garam.
• Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Adaptasi mangrove terhadap lingkungan
3
b. Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh
berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Contoh zonasi hutan mangrove
4
2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan
ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem
tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat
keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan
organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke
ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai
penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu
kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan
(spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu
karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan
mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,
2001).
Hubungan ekosistem mangrove
5
b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove
bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan
mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
serangga,
• sebagai pengatur iklim mikro.
Sebagai penahan abrasi air laut
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan
makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
pewarna),
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan
6
2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM
MANGROVE
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak
terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1).
Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan
luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di
Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan
makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung
cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali
(1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran
antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
7
Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
Tebang habis
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
Pembuangan
sampah padat
• • Pencemaran
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi
mineral.
• • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan
digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan
hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery
ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda
yang penting secara ekonomi.
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi
dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih
asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak
dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif
terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat
hara melalui aliran air tawar berkurang
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas
pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery
ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan
mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang
sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan
keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang
bermuara di laut.
• • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat
terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang
terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang
antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3)
yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang
akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
• • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora
oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang
dapat mengakibatkan :
− − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan
bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting
di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan
udang tersebut.
• • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :
− − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya
dapat mematikan pohon mangrove.
. Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
9
2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu
tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum,
serta strategi dan pelaksanaan rencana.
Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali
a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove.
Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari.
Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama
masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove.
Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan
sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove
10
b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten
dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.
Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat
hukum tersebut.
c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi
dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar
dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan
dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan
menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan
sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan
fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna
Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
• Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
• Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan
hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status
hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya
perikanan, pertanian, dan sebagainya.
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan
mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola
partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan,
institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,
mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas
yang bernilai ekologis dan ekonomis.
• Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka
diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan
konservasi.
• Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan
mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
• Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001).
• Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
• Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000).
Saran
• Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti
• Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini
• Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih
12
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove
Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
13
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”.
Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak.
Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini.
Meulaboh,8 Mei 2012
Penulis
KHAIRUNNAS
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2
2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2
2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5
2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7
2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12
3.2 Saran…………………………………………………………………………….12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13
ii
BAB I
EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA
DI INDONESIA
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan
panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,
baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan
dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat
maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah
transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam
Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal
dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti
oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih
besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang
unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,
habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota
perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain
: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem
mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir.
Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan
mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala
diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi
oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,
1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah
“mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu
tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau
atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis
spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan
mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang,
kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967
dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi
spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk
lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
2
a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan.
Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil
oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel
(misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
• Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
• Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan
garam.
• Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Adaptasi mangrove terhadap lingkungan
3
b. Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh
berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Contoh zonasi hutan mangrove
4
2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan
ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem
tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat
keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan
organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke
ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai
penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu
kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan
(spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu
karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan
mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,
2001).
Hubungan ekosistem mangrove
5
b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove
bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan
mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
serangga,
• sebagai pengatur iklim mikro.
Sebagai penahan abrasi air laut
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan
makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
pewarna),
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan
6
2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM
MANGROVE
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak
terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1).
Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan
luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di
Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan
makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung
cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali
(1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran
antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
7
Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
Tebang habis
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
Pembuangan
sampah padat
• • Pencemaran
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi
mineral.
• • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan
digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan
hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery
ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda
yang penting secara ekonomi.
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi
dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih
asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak
dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif
terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat
hara melalui aliran air tawar berkurang
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas
pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery
ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan
mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang
sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan
keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang
bermuara di laut.
• • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat
terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang
terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang
antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3)
yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang
akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
• • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora
oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang
dapat mengakibatkan :
− − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan
bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting
di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan
udang tersebut.
• • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :
− − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya
dapat mematikan pohon mangrove.
. Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
9
2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu
tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum,
serta strategi dan pelaksanaan rencana.
Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali
a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove.
Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari.
Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama
masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove.
Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan
sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove
10
b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten
dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.
Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat
hukum tersebut.
c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi
dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar
dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan
dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan
menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan
sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan
fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna
Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
• Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
• Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan
hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status
hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya
perikanan, pertanian, dan sebagainya.
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan
mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola
partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan,
institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,
mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas
yang bernilai ekologis dan ekonomis.
• Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka
diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan
konservasi.
• Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan
mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
• Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001).
• Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
• Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000).
Saran
• Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti
• Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini
• Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih
12
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove
Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
13
vvKATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”.
Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak.
Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini.
Meulaboh,8 Mei 2012
Penulis
KHAIRUNNAS
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2
2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2
2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5
2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7
2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12
3.2 Saran…………………………………………………………………………….12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13
ii
BAB I
EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA
DI INDONESIA
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan
panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,
baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan
dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat
maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah
transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam
Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal
dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti
oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih
besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang
unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,
habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota
perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain
: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem
mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir.
Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan
mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala
diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi
oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,
1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah
“mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu
tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau
atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis
spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan
mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang,
kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967
dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi
spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk
lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
2
a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan.
Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil
oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel
(misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
• Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
• Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan
garam.
• Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Adaptasi mangrove terhadap lingkungan
3
b. Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh
berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Contoh zonasi hutan mangrove
4
2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan
ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem
tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat
keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan
organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke
ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai
penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu
kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan
(spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu
karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan
mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,
2001).
Hubungan ekosistem mangrove
5
b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove
bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan
mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
serangga,
• sebagai pengatur iklim mikro.
Sebagai penahan abrasi air laut
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan
makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
pewarna),
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan
6
2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM
MANGROVE
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak
terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1).
Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan
luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di
Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan
makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung
cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali
(1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran
antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
7
Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
Tebang habis
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
Pembuangan
sampah padat
• • Pencemaran
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi
mineral.
• • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan
digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan
hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery
ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda
yang penting secara ekonomi.
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi
dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih
asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak
dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif
terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat
hara melalui aliran air tawar berkurang
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas
pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery
ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan
mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang
sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan
keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang
bermuara di laut.
• • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat
terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang
terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang
antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3)
yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang
akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
• • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora
oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang
dapat mengakibatkan :
− − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan
bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting
di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan
udang tersebut.
• • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :
− − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya
dapat mematikan pohon mangrove.
. Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
9
2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu
tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum,
serta strategi dan pelaksanaan rencana.
Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali
a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove.
Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari.
Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama
masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove.
Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan
sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove
10
b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten
dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.
Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat
hukum tersebut.
c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi
dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar
dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan
dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan
menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan
sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan
fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna
Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
• Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
• Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan
hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status
hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya
perikanan, pertanian, dan sebagainya.
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan
mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola
partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan,
institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,
mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas
yang bernilai ekologis dan ekonomis.
• Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka
diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan
konservasi.
• Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan
mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
• Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001).
• Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
• Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000).
Saran
• Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti
• Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini
• Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih
12
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove
Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”.
Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak.
Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini.
Meulaboh,8 Mei 2012
Penulis
KHAIRUNNAS
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2
2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2
2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5
2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7
2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12
3.2 Saran…………………………………………………………………………….12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13
ii
BAB I
EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA
DI INDONESIA
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan
panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,
baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan
dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat
maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah
transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam
Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal
dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti
oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih
besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang
unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut,
habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota
perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain
: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem
mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir.
Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan
mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala
diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi
oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,
2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae,
1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah
“mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu
tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau
atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis
spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan
mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang,
kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967
dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi
spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk
lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
2
a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan.
Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki
bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil
oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel
(misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
• Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
• Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan
garam.
• Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Adaptasi mangrove terhadap lingkungan
3
b. Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh
berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Contoh zonasi hutan mangrove
4
2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan
ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem
tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat
keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan
organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke
ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai
penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu
kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan
(spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu
karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan
mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,
2001).
Hubungan ekosistem mangrove
5
b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove
bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan
mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
serangga,
• sebagai pengatur iklim mikro.
Sebagai penahan abrasi air laut
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan
makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
pewarna),
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan
6
2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM
MANGROVE
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak
terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1).
Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan
luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di
Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan
makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung
cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali
(1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran
antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
7
Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan Dampak Potensial
Tebang habis
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
Pembuangan
sampah padat
• • Pencemaran
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi
mineral.
• • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan
digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan
hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery
ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda
yang penting secara ekonomi.
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi
dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih
asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak
dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif
terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat
hara melalui aliran air tawar berkurang
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas
pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery
ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan
mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang
sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan
keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang
bermuara di laut.
• • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat
terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang
terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang
antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3)
yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang
akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
• • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora
oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang
dapat mengakibatkan :
− − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan
bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting
di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan
udang tersebut.
• • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :
− − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya
dapat mematikan pohon mangrove.
. Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
9
2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu
tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum,
serta strategi dan pelaksanaan rencana.
Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali
a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove.
Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari.
Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama
masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove.
Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan
sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove
10
b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten
dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.
Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat
hukum tersebut.
c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi
dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar
dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan
dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan
menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan
sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan
fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna
Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
• Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
• Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan
hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status
hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya
perikanan, pertanian, dan sebagainya.
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove
partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan
mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola
partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan,
institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan,
mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas
yang bernilai ekologis dan ekonomis.
• Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka
diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan
konservasi.
• Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan
mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
• Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001).
• Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
• Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000).
Saran
• Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti
• Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini
• Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih
12
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove
Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
13
13
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar