Minggu, 10 Juni 2012

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 vvKATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar