Senin, 11 Juni 2012

hama dan penyakit ikan

NAMA : KHAIRUNNAS
NIM      : 10C10432056
RUANG : B
MK          : HAMA DAN PENYAKIT IKAN



PENYEBAB PENYAKIT IKAN GOLONGAN VIRUS

Beberapa jenis virus  Diketahui dapat menyerang ikan-ikan budidaya dan menimbulkan  Permasalahan yang serius.
 Jenis-jenis penyakit tersebut meliputiChannel Catfish Virus Disease (CCVD), Spring Viraemia of Carp (SVC), InfectiousPancreatic Necrosis (IPN), Lymphocystis Disease (LD), Infectious Hematopoietic Necrosis (IHN),Viral Nervous Necrosis (VNN) dan Koi Herpes.

v    Channel Catfish Virus Diseases adalah infeksi yang akut dan haemorhagik olehvirus Herpes. Penyakit ini dapat menimbulkan kematian yang tinggi, kadang-kadangmencapai hampir 100 % pada Ictalurus punctatus yang muda. Inang alamiah yangdiserang adalah Channel catfish (Ictalurus punctatus) biasanya yang berumur kurangdari 4 bulan. Hasil infeksi secara eksperimen menunjukkan virus ini dapat menyerangwhite catfish (I. catus), blue catfish (I. furcatus), dan walking catfish (Clariasbatrachus).Tanda-tanda klinis/patologis serangan penyakit ini yang dapat diamati antara lainhilangnya keseimbangan tubuh, bergerak berputar-putar dan tergantung vertikal, matamenonjol (exophthalmus), perut mengembung atau distensi.
 Secara patologis/histopatologis terlihat pula adanya petekiae (perdarahan) pada sirip dan disekitar abdomen; perdarahan pada ginjal, kulit dan organ dalam kulit dan organdalam; insang terlihat pucat dan haemorhagi; adanya kenaikan sel limfoid di dalamginjal dan nekrosis di sekitar tubular ginjal; nekrosis terdapat pula pada hati, limpadan alat pencernaan; haemorhagi, edema dan nekrosis mukosal dan pelepasan sel didalam usus.


v    Spring Viraemia Of Carp (SVC) merupakan penyakit/infeksi oleh virus yang bersifat akut haemorhagis dan menular, yang menyerang golongan ikan Cyprinids danlebih spesifik pada Common carp,Cyprinus carpio. Penyakit ini biasanya timbul pada musim semi (Spring) dan menyebabkan kematian pada semua umur.Common carp merupakan inang yang utama dan virus dapat menyerang ikandewasa dan muda. Dilaporkan pula bahwa virus pernah pula diisolasi dari golonganCyprinids yang lain. Silver carp, Bighead carp (Aristichthys nobilis), dan Crucian carp (Carassius auratus).  Secara eksperimental Pike Fry (Esox lucius) dan larvanya, fry dari carp, Grass carp (Ctenocephalon idella) dan Guppies (Lebistes reticulata). Tanda-tanda klinis dan patologis serangan SVC antara lain meliputi ikan berkumpul di bagian outflow, warna ikan menjadi gelap, perdarahan/ petekiaehaemorhagi, mata menonjol (exophthalmus), abdominal dropsy, biasanya dijumpai pula peritonitis fibrinosa dan ctarrhal atau enteritis yang nekrotik. Sedangkan Swimbladder Inflammation (SBI) yang virusnya identik dengan virus SVC, dapatmemperlihatkan gejala klinis/patologis yaitu kehilangan berat badan dankeseimbangan, warna kulit menjadi gelap/berubah, degenerasi/perdarahan pada dinding gelembung udara (swimbladder).

v    Infectious Pancreatic Necrosis (Ipn) merupakan penyakit viral yang akut dansangat menular, terutama menyerang golongan ikan Salmonis. Terhadap ikan mudayang sembuh (survivors) dapat tahan terhadap penyakit tetapi dapat menjadi pembawainfeksi (carrier) seumur hidup. IPN telah dilaporkan sebagai penyakit endemik didaerah/lokasi perikanan trout sekurang-kurangnya di sepuluh negara Eropa termasuk Skandinavia dan Inggris Raya, demikian juga di Amerika Utara dan Jepang.IPN dapat menyerang macam-macam inang yang cukup banyak baik asal air tawar atau air laut dan kemungkinan Shellfish laut.Virus IPN pertama kali dilaporkan di Perancis tahun 1965. Demikian juga diDenmark, virus IPN telah diidentifikasi secara virologik pada tahun 1968.Penyakit oleh IPN pada spesies non Salmonid telah pula diketahui dan virusnyatelah pula diisolasi dari bermacam-macam spesies non Salmonid dan isolasi virusnya pertama kali dilaporkan oleh Sonstegarddkk. pada tahun 1972 yang berasal dari ikan”Yearling White Suckers” (Catastomus comersoni) di Canada. Di Jerman virusdiisolasi dari grayling (Thymallus thymallus), barbel (Barbus barbus), Pike (Esoxlucius) dan Carp (Cyprinus carpio). Di Irlandia Utara, virus IPN diisolasi dari Goldfish (Carassius auratus), Discuss Fish (Symphysodon discus) dan Bream (Abramis brama).Di Inggris (England) diisolasi dari Carp (Cyprinus carpio) dan Crucian carp (Carassius auratus). Demikian pula di Jepang isolasi virus IPN diperoleh dariEuropean eels (Anguilla anguilla) dan Japanese eels (Anguilla japonica) dandinamakan Eels Virus European (EVE).Penularan IPN dapat terjadi secara vertikal, dengan virus berada dalam telur, atauhorizontal, melalui air, urine, faeces, sekresi sexual atau melalui ikan mati/sakit yangdikonsumsi oleh ikan lain. Umumnya ikan yang sembuh (survivors/carriers) dapatmenjadi non-clinical carriers atau pembawa penyakit, mungkin selama hidupnya dancarrires tersebut juga bertindak sebagai reservoir virus untuk ikan-ikan lain yangsebelumnya belum terinfeksi.Selain itu masa inkubasi IPN relatif pendek, antara 3 – 5 hari sebelum tandaklinis dan kematian terjadi. Faktor-faktor seperti umur inang, suhu rendah dan spesiesikan dapat memperpanjang masa inkubasi.Pada kasus/wabah, tanda-tanda pertama adanya kematian mendadak dan biasanya yang terserang pertama kali adalah ikan yang masih muda. Tanda klinisdapat bervariasi antara lain : warna ikan menjadi gelap, bergerak berputar-putar,exophthalmus (mata menonjol), perut membesar dan terdapat cairan visceral, perdarahan di daerah bawah perut/ventral termasuk di daerah sirip, hati dan limpa pucat dan membesar, tak terdapat makanan dalam perut dan usus biasanyamengandung eksudat mucoid yang kekuningan atau keputihan.Lymphocystis disebabkan oleh virus yang dianggap paling tua dan virus yang paling diketahui pada ikan, walaupun virus diisolasi dan ditumbuhkan pada pupukan jaringan baru pada tahun 1966.

v    Lymphocystis (LD) terjadi di banyak negara dan sekurang-kurangnya 97 spesies ikan jenis teleost pernah terserang Penyakit tersebut, merupakan infeksi yang umumnya banyak dijumpai, bersifat kronis dan merupakan tumor yang tidak ganas disebabkanoleh iridovirus. Penyakit ini menyerang banyak spesies baik pada ikan air tawar, laut,ikan yang dibudidaya atau ikan liar, juga pernah dijumpai pada ikan hias laut diwilayah karantina ikan (di luar negeri).Penularan penyakit dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung misalnyamelalui air yang tercemar virus, melalui makanan dan melalui suntikan. 
Tetapitempat penularan yang utama adalah permukaan kulit luar, termasuk insang.Tanda-tanda klinis/patologis serangan virus ini adalah terjadinya penebalan(hypertrophy) dari sel-sel jaringan ikat yang menimbulkan tonjolan pada daerah kulit(nodul) pada daerah sirip atau kulit;dapat terjadi secara satu-satu atau mengelompok.Secara histopatologis di daerah fibrocytes/sel yang terinfeksi terlihat adanyahypertrophy yang jelas dengan capsul hyaline dan basophilic intracytoplasmicinclusions.

v    Penyakit Infectious Haematopoietic Necrosis (IHN) merupakan suatu penyakit yang bersifat akut dan sistemik. Penyakit ini menyerang Rainbow trout (Salmo gairdneri), Chinook slmon ( Oncorrhynchus tshawytscha), Sockeye salmon (O. nerka).Target sel penyakit IHN ini terutama organ penghasil darah yakni ginjal mukadan limpa. Tanda-tanda klinis penyakit ini antara lain ikan yang terinfeksi terlihatlethargik, berkumpul di tepi kolam, berwarna lebih gelap, anemia, exophthalmia,scoliosis, lordosis, pembengkakan abdomen, perdarahan pangkal sirip pektoral dansirip pelvic, perdarahan bawah kulit; ginjal, limpa dan hati terlihat pucat, rongga perut berisi cairan dan usus kosong, perdarahan bintik pada jaringan adipose usus.

v    Viral Nervous Necrosis (VNN) merupakan penyakit virus yang menginfeksistadia larva dan juvenil ikan laut dan merupakan penyakit yang berbahaya bagi usaha pembenihan ikan.Gejala yang tampak pada ikan yang terinfeksi VNN berbeda-beda sesuai denganstadia atau umur ikan. Umur ikan di bawah 20 hari bila terinfeksi tidak menunjukkangejala klinis kecuali nafsu makan yang menurun. Ikan umur 20 – 40 harimenunjukkan tingkah laku berenang yang abnormal yaitu ikan berenang di dekat permukaan air dan banyak yang mati di dasar bak. Untuk ikan yang berumur 2 – 4 bulan, saat penempatan pada jaring apung ikan yang terinfeksi tampak diam/tidur didasar jaring. Sedangkan ikan umur 4 bulan ke atas terlihat berenang mengambang diatas permukaan air disertai adanya pembesaran gelembung renang (Koesharyani et al.,2001dalam Suratmi, 2004). Di Indonesia kasus serangan VNN pertama kali diidentifikasi pada hatcherykakap di Jawa Timur pada tahun 1997. Kemudian pada tahun 1998 kasus kematianyang disebabkan oleh VNN ditemukan pada budidaya ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dengan tingkat kematian mencapai 100 %. Virus ini umumnyamenginfeksi stadia larva sampai juvenil dan menyerang sistem organ syaraf mata danotak yang ditandai dengan adanya vakuolasi, dengan gejala yang cukup spesifik karena ikan menampakkan tingkah laku berenang yang tidak normal dan umumnyaikan berdiam di dasar (Yuasa et al., 2001 dalam Suratmi, 2004).


v    Koi Herpes Virus (KHV) merupakan agen penyebab penyakit yang sampai saatini spesifik menyerang ikan Mas (Common carp) dan Ikan Koi. Virus tersebuttergolong sangat ganas karena dapat menyebabkan kematian masal hingga mencapai100 % pada populasi ikan Mas dan Koi di sentra-sentra budidaya perikanan. Kasus wabah penyakit KHV tersebut pertama kali dilaporkan pada tahun 1998 diIsrael dan Amerika Serikat yang menyebabkan kematian masal ikan Mas dan Koi.
Kerugian ekonomi yang dialami Israel mencapai 4 juta dollar Amerika Serikat(Tinman dan Bejerano, 2003). Di Indonesia serangan KHV pertama kali dilaporkan pada awal tahun 2002 dan selama periode tersebut telah menyebar ke seluruh pulauJawa dan Bali serta Sumatera bagian Selatan. Wabah tersebut mengakibatkankerugian ratusan milyar rupiah. Penularan dan penyebaran KHV yang sangat efektif adalah melalui perdagangan dan distribusi komoditas ikan.
Gejala yang ditimbulkan oleh serangan KHV, nafsu makan mendadak hilang,gerakan ikan tidak normal dan megap-megap (operkulum bergerak cepat), bercak  putih pada insang yang selanjutnya berkembang menjadi geripis pada ujung lamelladan akhirnya membusuk. 
Oleh sebab itu disebut penyakit virus insang membusuk.Dapat pula diikuti perdarahan di sirip dan badan serta luka melepuh. Kematian terjadiantara 1 – 5 hari setelah gejala awal. Kematian mencapai 100 % dalam waktu singkat.Kematian masal akibat KHV di farm-farm budidaya tersebut terjadi padatemperatur air berkisar antara 17 – 25 derajat Celcius dan tingkat kematian akanmenurun apabila suhu air berada di atas atau di bawah kisaran temperatur tersebut.Keganasan KHV ditunjukkan oleh waktu kematian yang berlangsung relatif sangatcepat setelah ikan menunjukkan tanda-tanda awal terinfeksi KHV dan waktu penyebaran dan penularan KHV yang relatif sangat cepat.

Minggu, 10 Juni 2012

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 vvKATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya sehinga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Biologi Laut ini: makalah ini di buat sebagai Media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Penyusunan makalah ini di maksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah Biologi Laut ini. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui bagaimana itu di maksud dengan “Ekosistem Mangrove”. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi kesempurnaan makalah ini saya mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhir kata saya ucapkan trimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Edwarsyah, S.P., MP. yang telah membimbing dan mengarahkan saya, serta rekan – rekan dan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan Makalah ini. Meulaboh,8 Mei 2012 Penulis KHAIRUNNAS i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...…ii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………...1 BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………2 2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove……………………………2 2.2 Arti Penting Ekosistem Mangrove…………………………………………….…5 2.3 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove…………………….7 2.4 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia……………………………….10 BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...12 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...12 3.2 Saran…………………………………………………………………………….12 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………13 ii BAB I EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove. 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2 a. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : • Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. • Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. • Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Adaptasi mangrove terhadap lingkungan 3 b. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : • Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. • Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. • Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. • Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Contoh zonasi hutan mangrove 4 2.2 ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE a. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001). Hubungan ekosistem mangrove 5 b. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) : 1. Fungsi ekologis : • pelindung garis pantai dari abrasi, • mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan, • tempat berpijah aneka biota laut, • tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga, • sebagai pengatur iklim mikro. Sebagai penahan abrasi air laut 2. Fungsi ekonomis : • penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan), • penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna), • penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Sebagai tempat wisata dan wahana pendidikan 6 2.3 DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak kerusakan mangrove akibat ulah tangan manusia Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. 7 Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Dampak Potensial Tebang habis Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan Pembuangan sampah cair (Sewage) Pembuangan sampah padat • • Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. • • Penambangan dan ekstraksi mineral. • • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi. • • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. • • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat hara melalui aliran air tawar berkurang • • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. • • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. • • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. • • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. • • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove. • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik. • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. • • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. • • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan : − − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut. • • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan : − − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove. . Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. 9 2.4 PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Pengelolaan hutan mangrove dan penanaman kembali a. Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Salah satu ekonomi bagi masyarakat hutan mangrove 10 b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut. c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas : • Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir). • Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). 11 BAB III PENUTUP Kesimpulan • Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis. • Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi. • Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat. • Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji,2001). • Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). • Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Saran • Bagi yang membaca paper ini mohon diberi masukan, apabila terjadi kesalahan penulisan maupun penjelasannya mungkin kurang dipahami atau dimengerti • Agar wawasan kita lebi luas dalam memahami ekosistem mangrove ini • Untuk itu mohon diberi sarannya terima kasih 12 DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. 13 13